Tuesday, May 17, 2011

Wanita Yang Anggap Semua Agama Adalah Kuno, Akhirnya Memilih Islam.


“Jika kau bertanya padaku pada usia 16 apakah aku ingin menjadi seorang Muslim, aku akan berkata,” Tidak, terima kasih. Agamaku adalah minum-minum, berpesta bersama dengan teman-temanku,” ujar Catherine Heseltine, sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Lahir di London Utara, Catherine tidak pernah mempraktikkan agama apapun di rumahnya. Dibesarkan dalam lingkungan kelas menengah terpelajar, agama bagi keluarga ini dianggap “sedikit kuno dan tidak relevan”.

Hingga suatu hari, guru sekolah ini bertemu seorang pemuda bernama Syed. Pemuda ini, diakuinya, beza dengan laki-laki yang pernah dikenalnya. “Dia menafikan semua prasangkaku tentang agama. Dia masih muda, Muslim, sangat percaya pada Tuhan – dan dia sangat “normal”, sama seperti lelaki seusianya. Satu-satunya perbezaan adalah bahawa, tidak seperti kebanyakan pemuda Inggris, dia tidak pernah minum minuman keras.”

Bagi Catherine, perbincangan dengan Syed membuatnya seperti ditampar. Menurutnya, seorang penganut agnotism akan menyedari bahawa menjadi peribadi tanpa agama adalah juga sebuah keyakinan; yakin Tuhan tak ada. “Kalau bagiku, bahkan Tuhan ada tidak pun, aku tak pernah peduli.”

Setahun kemudian,dia mula mungkir dengan pemikirannya. Sampai akhirnya dalam diam-diam dia menyedari, mulai jatuh hati pada Syed dan Islam. Entah dia jatuh hati lebih dulu pada Islam kemudian baru Syed, atau sebaliknya. Yang jelas, dia yang makin teruja kian rajin membaca buku-buku keislaman.

Apa yang paling menarik perhatiannya dari semua bahan yang dibacanya? “Alquran. Kitab ini sangat menarik dari sisi intelektual, sisi emosional, dan spiritual. Aku menyukai penjelasannya tentang alam semesta dan menemukan bahawa 1.500 tahun yang lalu, Islam telah memberikan hak-hak perempuan yang tak dimiliki di sini, di dunia Barat ini. Aku makin yakin Alquran betul-betul sebuah wahyu.”

Namun, menyatakan keislaman, dia belum sanggup. Baginya, berislam bukan sekadar bersyahadat, atau demi mendapatkan apa yang kita inginkan — dalam konteks Catherine adalah mendapatkan Syed sebagai suaminya. “Agama ini benar-benar hebat. Tapi selama tiga tahun aku menyimpan minat dalam Islam untuk diriku sendiri,” ujarnya.

Sampai kemudian, timbul keberanian untuk bersyahadat ketika kuliah di tahun pertama. Di tahun yang sama, keraa alasan tak ingin berlama-lama berkasih, dia memutuskan menikah. Reaksi awal Ibuku adalah, “tidak dapatkah kau hidup bersama saja dengannya tanpa menikah?” Bagi ibu dia agak keberatan,” tambahnya.

Bagi ibunya, rumah tangga Muslim adalah rumah tangga yang menindas isteri. Namun dia sudah bulat tekadnya. “Kini aku sudah lima tahun lebih menjadi isteri Syed dan ibuku tak menemukanku dirantai di dapur,” ujarnya terbahak-bahak.

Catherine pada awal keislamannya belum sepenuhnya berjilbab. Di acara-acara keagamaan, dia mengenakan jilbab. Namun dalam kesehariannya, dia mengenakan bandana atau topi untuk menutupi rambutnya.

DIa beralasan, sengaja tampil demikian untuk menarik perhatian ketika tengah berada di restoran, pasar, atau dimanapun dia berada di luar rumah. Ketika orang bertanya, maka akan mudah baginya untuk bercerita tentang Islam.

“Sepertiku, aku ingin orang bertahap mengetahui ajaran Islam. Aku juga ingin orang menilaiku pertama kali dari kecerdasan dan karakterku, bukan agamaku. Ini aku sebut sebagai syiar.” ujarnya.

Sumber

1 comment:

Anonymous said...

slm,soalan ni xda kena mengena,boleh je kalo tuan nak abaikan,saja wat nukilan.knp kita selalu salahkan org lain,pemimpin dan sebagainya?kalo iman xda,nak bersangka baik,solat,waima nak buang paku kat tngh jalan pon x boleh macam mane pulak kita mampu nak berjihad?knp x cerita hal pokok tapi cerita hal yg tggi2,jihad dan mcm2 pekara2 yg menuntut iman yg hebat?jd knp byk blog ceita salah orang,cerita la besar allah.nabi luka kat thaif pasal nak bercerita besar allahla.iaitu mengajak manusia kpd iman,berpesan2 kpd iman..bukan nak cerita hal makhluk,kebenaran apa yg kita sedang cari sebenarnya?..tuan boleh abaikan..mtk maaf n slm.